Minggu, 21 Desember 2008
di
01.27
|
Oleh: Chandra Muas
Ia memulai usahanya dengan perahu tradisional yang mengandalkan tenaga dayung dan layar. Berkat rajin menabung dan jauh dari hidup hura-hura, ia bisa membeli mesintempel. Kini ia telah memiliki 6 kapal besar, galangan kapal, pabrik es dan Bank Perkreditan Rakyat yang akan segera berdiri di Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tempat tinggal nya selama ini. Dengan sekian sektor usaha yang dimilikimya itu, diperkirakan dlm sebulan ia bisa berpenghasilan sekitar 3 milyar rupiah. Padahal Haji Sumarno (32 tahun) cuma jebolan kelas 3 SD, yang hingga kini pun tetap hidup dengan kesederhanaannya.Sumarno lahir di desa Bendar, kampung nelayan di pinggiran kota Juwana,Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 18 September 1969. Ia anak ke lima dari enam orang bersaudara, pasangan keluarga, H Suli (61 tahun) dan Hj.Sasmini (58 tahun). Orangtuanya benar-benar nelayan tulen yang mengandalkan hidup dari menangkap ikan di laut. Saat duduk di kelas tiga SD tahun 1979, Sumarno tidak berminat lagi untuk melanjutkan sekolah karena terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Saat itu, anak-anak sebayanya banyak yang putus sekolah dan langsung terjun ke laut membantu orang tua menangkap ikan. Demikian halnya dengan Sumarno. “Saya kasihan sama ayah. Demi anak-anaknya, beliau harus terkatung-katung di atas perahu kecil di tengah lautan seorang diri. Siang,malam bahkan di bawah terik matahari dan hujan badai yang maha dahsyat,” kata Sumarno memulai obrolannya dengan KARTINI.“Cuma, waktu itu saya punya target. Saya korbankan diri berhenti sekolah,tapi, saya harus menjadi orang yang berhasil di laut,” tambah Sumarno.Target pertama, ia harus bisa membeli mesin tempel untuk perahu tradisional milik ayahnya.
BELAJAR DARI AYAHNYAWaktu itu, ayahnya punya sebuah perahu tradisional kecil ukuran panjang 5 meter, lebar 2 meter dan tinggi 80 Cm. Perahu ini mengandalkan dayung sebagai tenaga penggerak, jika ada angin mereka memakai kain sebagai layar. Tidak jarang, kain sarung yang mereka kenakan, kerap digunakan pulasebagai layar untuk mempercepat lajunya perahu. Dengan perahu tradisional itulah Sumarno memulai segalanya, bersama sang ayah yang dianggap sebagai gurunya di dunia nelayan. Ayahnya mengajarinya segala hal tentang pekerjaan nelayan. Mulai dari mendayung perahu, menebar jaring di laut, mengangkat jaring, memilah ikan, mengemudikan perahu, hingga menjualnya di lokasi pelelangan ikan dan pasar. Tidak hanya itu, ilmu”membaca” karakter alam pun ia peroleh dari ayahnya. Misalnya tanda-tanda hujan atau badai akan tiba, membaca letak posisi bintang dengan arah yang dituju di tengah malam yang gelap dan pekat pun, dikuasai Sumarno lewat ayahnya. “Pokoknya ayah saya adalah guru bagi saya dalam segala hal. Beliau telah memberikan motivasi yang tidak ternilai bagi saya,” kata Sumarno. Saatnya melaut, bisa dimulai pagi hari, bisa juga petang hari, tergantung cuaca dan musim. Jika berangkat pagi, pulangnya sore. Begitu pula sebaliknya, bila berangkat sore, mereka akan kembali pagi dengan membawa hasil tangkapannya. Sebelum berangkat, tentu saja berbagai bekal di laut disiapkan dari rumah. Diantaranya nasi bungkus, air minum dan kue-kue kecil. Tidak jarang, ikan hasil tangkapan pun bisa mereka panggang di atas lampu petromak yang selalu mereka bawa bila menangkap ikan malam hari. Begitu sampai di darat, hasil tangkapan langsung mereka lelang di TPI (Tempat Pelelangan Ikan), tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil penjualan itu,Sumarno diberi ayahnya antara 4 - 5 ribu rupiah. “Uang itu langsung saya tabung dalam celengan bambu yang selalu saya titipkan di kamar Ibu. Tidak sepeser pun saya ambil, karena saya tidak merokok, tidak jajan dan tidak pergi ke mana-mana. Untuk makan, nebeng dengan orangtua. Jadi pendapatan saya utuh setiap hari,” kata Sumarno.Bertahun-tahun hal itu ia lakukan. Bila celengannya penuh, ia bikin lagi celengan baru. Yang lama tetap ia simpan di lemari ibunya. Dengan uang tabungannya itu, Sumarno akhirnya berhasil membeli sebuah mesin tempel merek Robin, dengan bahan bakar bensin.Dengan mesin ini jelajah tangkapan ikannya makin jauh dan penghasilan Sumarno bersama ayahnya pun kian meningkat. Otomatis tabungan pribadinya pun kian meningkat. Dua tahun kemudian, Sumarno berhasil membeli sebuah perahu tradisional lengkap dengan mesin tempel merek Kubota bertenaga 3,5 PK, seharga Rp 2.100.000. Sejak itu Sumarno mulai mandiri dan punya dua orang anak buah. Hasilnya ia bisa menabung 20 hingga 25 ribu rupiah sehari dan bisa pula memberi ibunya uang sekitar 5 - 10 ribu rupiah per hari.
MENIKAHTahun 1986, Sumarno berhasil mengganti perahunya dengan perahu yang lebih besar dengan ukuran mesin 8,5 PK. Setahun kemudian, ia berhasil pula membeli sebuah sepeda motor baru. Saat itulah, untuk pertamakalinya diakui Sumarno, ia mengenal wanita, yakni Endang Suharmiati (27 tahun), yang kemudian dipersuntingnya tahun 1989 dan kini telah melahirkan dua orang anak, Anton Subur Santoso (11 tahun) serta Muhammad Ahfas (1,5 tahun). Setahun setelah menikah, sepeda motor dan perahu bermesin tempelnya ia jual. Kemudian ia membelikan sebuah kapal kecil dengan panjang 10 meter lebar 4 meter dan tinggi 1,5 meter dengan tenaga 22 PK, seharga 6,5 juta rupiah. Kapal itu langsung dinahkodai Sumarno dengan jarak tempuh lebih jauh dan hasil tangkapan lebih banyak. Pulang seminggu sekali, bersama beberapa orang anak buahnya, dengan penghasilan bersih sekitar 500 ribu rupiah per minggu. Sejak itu, tiap tahun ia berhasil membeli sebuah perahu bermesin tempel yang dijalankan orang lain dengan sistem bagi hasil.Tahun 1995, kapal dan lima perahunya ia jual, kemudian ia belikan sebuah kapal yang lebih besar, bermesin 6 silinder, seharga 47 juta rupiah. Kian tahun, jumlah kapal Sumarno kian banyak, hingga tahun 1998, setelah ia putuskan tidak melaut lagi, ia sudah memiliki 6 buah kapal besar dengan jumlah ABK (anak buah kapal) masing-masing sekitar 50 orang. Harga kapalnya pun tidak tanggung-tanggung, dari harga 350 juta rupiah, hingga 1 milyar rupiah. Berdasarkan pengalaman membeli kapal baru di sebuah galangan kapal di Rembang tahun 1998, dengan pinjaman kredit dari sebuah bank swasta di Pati, Sumarno terinspirasi untuk membuat sebuah galangan kapal di lahan milik orangtuanya yang menghadap langsung ke Pantai Juwana. “Saya rekrut beberapa ahli pembuat kapal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Diantaranya dari Rembang, Pati, Tegal dan Pekalongan. Mereka ini adalah para ahli kapal kayu tradisional dari daerahnya masing-masing,” kata Sumarno. Ilmu yang mereka miliki dipadukan di Galangan Kapal UD. Anton Jaya milik Sumarno, sehingga galangan tersebut dapat menghasilkan kapal kayu berkualitas. Hingga pertengahan 2001, menurut Sumarno, tidak kurang dari 45 kapal dari berbagai ukuran, mulai dari berkuran panjang 10 meter hingga 100 meter dengan muatan ratusan ton, telah dibuat di galangannya. Selain ada pesanan nelayan lokal, tidak sedikit pula yang dibawa ke Kalimantan dan Sumatera. Terakhir, yang sedang dikerjakan, adalah tiga buah kapal ukuran sedang pesanan Gubernur Jawa Tengah, Mardianto, yang dipersiapkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan di beberapa wilayah Jawa Tengah nantinya, dengan harga 1 milyar lebih. “Insya Allah, yang satunya akan selesai pertengahan Oktober ini. Sisanya menyusul bulan berikut,” kata Sumarno.
JADI MILYUNERHampir empat tahun Sumarno tidak terjun ke laut. Seluruh urusan kapal dan hasil tangkapannya ia jalankan dari darat dengan menaruh orang-orang kepercayaan di setiap kapalnya. Seluruh keluarga terdekatnya, ia percayakan di masing-masing kapal tersebut. Mulai dari kakak tertuanya, Rasiman, Haji Arif, Sutari dan adik bungsunya Sutopo, menjadi nahkoda di masing -masing kapal tersebut, dibantu beberapa keponakannya sebagai asisten nahkoda. “Sisanya, masyarakat sekitar sini bekerja di kapal saya.Alhamdulillah, saya bisa membantu kehidupan nelayan sekitar sini,” kata Sumarno. Sedang untuk pembukuan dan keuangan, Sumarno merekrut dua orang keponakannya, jebolan akademi keuangan Semarang, Yuni dan Prapti. “Seluruhnya saya percayakan kepada mereka-mereka itu. Bagi saya, kepercayaan adalah segala-galanya. Sekali mereka tidak jujur, bagi saya tidak ada kesempatan kedua untuk kembali memperoleh kepercayaan yang sama. Hingga saat ini, walau sebenarnya saya awam soal pembukuan secara modern, tapi, Alhamdulillah, saya bisa menghitung secara alamiah, sesuai nalar yang saya miliki,” kata Marno.Hasilnya, dari bulan ke bulan, jumlah uang Sumarno di bank kian meningkat. Menurut perkiraan seseorang yang dekat dengannya, penghasilan Sumarno per hari, tidak kurang dari seratus juta rupiah. “Kalau sebulan, anda bisa kalikan, sekitar tiga milyar,” kata orang tersebut.Perkiraan itu, agaknya masuk akal. Selain kini Sumarno telah duduk sebagai Direktu Utama PT. Tirta Mina Lestari, pabrik es terbesar di Kabupaten Pati, sebuah Bank Perkreditan Rakyat miliknya pun akan segera berdiri, di kota Juwana, bernama Mina Lana. “Alhamdulillah, tinggal menunggu saat yang tepat untuk peresmiannya,” kata lelaki berkulit hitam itu.Dengan sekian sektor usaha yang dimiliki, Sumarno kini mempekerjakan sekitar 400 karyawan dan 15 orang sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk memperlancar perputaran roda usaha yang dia miliki. Sedang Sumarno sendiri, karena seluruh mekanisme yang ada telah berjalan sesuai aturannya masing-masing, kini tinggal mengawasi seluruh sektor usahanya, secara umum, lewat kantor utama di samping rumahnya yang terbilang megah di tengah perkampungan nelayan desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati Jawa Tengah.Kini, untuk bepergian, Sumarno punya sebuah mobil Opel Blazer tahun terbaru. Untuk berkomunikasi, ia punya beberapa telepon genggam mutakhir sebagai alat komunikasi kaum eksekutif saat ini. Cuma, terus terang diakui, hingga saat ini ia tidak pandai memakai dasi. “Sungguh Mas, saya tidak bisa pasang dasi. Begitu juga istri saya. Kami ini orang kampung yang bodoh,” katanya merendah. Karena itu, bila menghadiri acara penting di Semarang atau kota lain bersama kaum eksekutif lainnya, Sumarno Cuma mengenakan kemeja batik atau jas tanpa dasi. Sedang dalam keseharian, Marno tampil sangat bersahaja, mengenakan sandal kulit dan sepeda motor untuk jarak dekat. Opel Blazer ia keluarkan bila akan bepergian agak jauh atau mengajak anak istrinya berkeliling kota Juwana, Pati atau ke Semarang dan sebagainya.
INGIN ANAK SEKOLAH KE LUAR NEGERI“Terus terang, saya ini orang bodoh, Mas. Hanya berkat tangan Tuhan-lah makanya saya sedikit berbeda dari orang lain. Kalau Tuhan tidak berkenan,mungkin hingga saat ini saya masih berhujan berpanas di tengah laut untuk enghidupi anak istri,” katanya. Untuk itu, diakui Marno, ia merasa ngeri dan berat bila memandang ke belakang tentang perjuangannya menggapai cita-cita. “Bayangkan, saya pernah nyaris dijemput maut ketika dapat musibah di laut. Saya terpelanting dari perahu tatkala perahu saya dihantam ombak.” Berjam-jam lamanya Sumarno terkatung-katung di air, hingga kemudian diselamatkan nelayan lain. Tidak hanya itu, ketika ia mencapai target hendak membeli sebuah perahu bermesin, ia harus turun ke laut selama 50 hari berturut-turut, tanpa henti. Satu hal yang disyukuri Sumarno atas “kebodohannya”, ia tidak kenal hingar bingar dunia hiburan, bioskop, diskotik, judi, wanita, minuman keras dan sebagainya. “Alhamdulillah, saya mensyukuri itu,” katanya berulang-ulang. Menyangkut pahitnya perjuangan hidup, Sumarno tidak ingin anaknya kelak harus berjuang keras melalui penderitaan pahit seperti dia.“Alhamdulillah, kini saya ada uang. Jika anak saya mau, lulus SMP nanti, saya ingin ia sekolah ke luar negeri sampai meraih gelar sarjana di sana. Terserah dia mau pilih sekolah apa dan di negara mana pun, akan saya dukung. Ini bukan sombong, tetapi memang keinginan saya yang luhur, ingin anak saya maju sebagai pelanjut usaha ini nantinya,” kata Marno.
Ia memulai usahanya dengan perahu tradisional yang mengandalkan tenaga dayung dan layar. Berkat rajin menabung dan jauh dari hidup hura-hura, ia bisa membeli mesintempel. Kini ia telah memiliki 6 kapal besar, galangan kapal, pabrik es dan Bank Perkreditan Rakyat yang akan segera berdiri di Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tempat tinggal nya selama ini. Dengan sekian sektor usaha yang dimilikimya itu, diperkirakan dlm sebulan ia bisa berpenghasilan sekitar 3 milyar rupiah. Padahal Haji Sumarno (32 tahun) cuma jebolan kelas 3 SD, yang hingga kini pun tetap hidup dengan kesederhanaannya.Sumarno lahir di desa Bendar, kampung nelayan di pinggiran kota Juwana,Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 18 September 1969. Ia anak ke lima dari enam orang bersaudara, pasangan keluarga, H Suli (61 tahun) dan Hj.Sasmini (58 tahun). Orangtuanya benar-benar nelayan tulen yang mengandalkan hidup dari menangkap ikan di laut. Saat duduk di kelas tiga SD tahun 1979, Sumarno tidak berminat lagi untuk melanjutkan sekolah karena terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Saat itu, anak-anak sebayanya banyak yang putus sekolah dan langsung terjun ke laut membantu orang tua menangkap ikan. Demikian halnya dengan Sumarno. “Saya kasihan sama ayah. Demi anak-anaknya, beliau harus terkatung-katung di atas perahu kecil di tengah lautan seorang diri. Siang,malam bahkan di bawah terik matahari dan hujan badai yang maha dahsyat,” kata Sumarno memulai obrolannya dengan KARTINI.“Cuma, waktu itu saya punya target. Saya korbankan diri berhenti sekolah,tapi, saya harus menjadi orang yang berhasil di laut,” tambah Sumarno.Target pertama, ia harus bisa membeli mesin tempel untuk perahu tradisional milik ayahnya.
BELAJAR DARI AYAHNYAWaktu itu, ayahnya punya sebuah perahu tradisional kecil ukuran panjang 5 meter, lebar 2 meter dan tinggi 80 Cm. Perahu ini mengandalkan dayung sebagai tenaga penggerak, jika ada angin mereka memakai kain sebagai layar. Tidak jarang, kain sarung yang mereka kenakan, kerap digunakan pulasebagai layar untuk mempercepat lajunya perahu. Dengan perahu tradisional itulah Sumarno memulai segalanya, bersama sang ayah yang dianggap sebagai gurunya di dunia nelayan. Ayahnya mengajarinya segala hal tentang pekerjaan nelayan. Mulai dari mendayung perahu, menebar jaring di laut, mengangkat jaring, memilah ikan, mengemudikan perahu, hingga menjualnya di lokasi pelelangan ikan dan pasar. Tidak hanya itu, ilmu”membaca” karakter alam pun ia peroleh dari ayahnya. Misalnya tanda-tanda hujan atau badai akan tiba, membaca letak posisi bintang dengan arah yang dituju di tengah malam yang gelap dan pekat pun, dikuasai Sumarno lewat ayahnya. “Pokoknya ayah saya adalah guru bagi saya dalam segala hal. Beliau telah memberikan motivasi yang tidak ternilai bagi saya,” kata Sumarno. Saatnya melaut, bisa dimulai pagi hari, bisa juga petang hari, tergantung cuaca dan musim. Jika berangkat pagi, pulangnya sore. Begitu pula sebaliknya, bila berangkat sore, mereka akan kembali pagi dengan membawa hasil tangkapannya. Sebelum berangkat, tentu saja berbagai bekal di laut disiapkan dari rumah. Diantaranya nasi bungkus, air minum dan kue-kue kecil. Tidak jarang, ikan hasil tangkapan pun bisa mereka panggang di atas lampu petromak yang selalu mereka bawa bila menangkap ikan malam hari. Begitu sampai di darat, hasil tangkapan langsung mereka lelang di TPI (Tempat Pelelangan Ikan), tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil penjualan itu,Sumarno diberi ayahnya antara 4 - 5 ribu rupiah. “Uang itu langsung saya tabung dalam celengan bambu yang selalu saya titipkan di kamar Ibu. Tidak sepeser pun saya ambil, karena saya tidak merokok, tidak jajan dan tidak pergi ke mana-mana. Untuk makan, nebeng dengan orangtua. Jadi pendapatan saya utuh setiap hari,” kata Sumarno.Bertahun-tahun hal itu ia lakukan. Bila celengannya penuh, ia bikin lagi celengan baru. Yang lama tetap ia simpan di lemari ibunya. Dengan uang tabungannya itu, Sumarno akhirnya berhasil membeli sebuah mesin tempel merek Robin, dengan bahan bakar bensin.Dengan mesin ini jelajah tangkapan ikannya makin jauh dan penghasilan Sumarno bersama ayahnya pun kian meningkat. Otomatis tabungan pribadinya pun kian meningkat. Dua tahun kemudian, Sumarno berhasil membeli sebuah perahu tradisional lengkap dengan mesin tempel merek Kubota bertenaga 3,5 PK, seharga Rp 2.100.000. Sejak itu Sumarno mulai mandiri dan punya dua orang anak buah. Hasilnya ia bisa menabung 20 hingga 25 ribu rupiah sehari dan bisa pula memberi ibunya uang sekitar 5 - 10 ribu rupiah per hari.
MENIKAHTahun 1986, Sumarno berhasil mengganti perahunya dengan perahu yang lebih besar dengan ukuran mesin 8,5 PK. Setahun kemudian, ia berhasil pula membeli sebuah sepeda motor baru. Saat itulah, untuk pertamakalinya diakui Sumarno, ia mengenal wanita, yakni Endang Suharmiati (27 tahun), yang kemudian dipersuntingnya tahun 1989 dan kini telah melahirkan dua orang anak, Anton Subur Santoso (11 tahun) serta Muhammad Ahfas (1,5 tahun). Setahun setelah menikah, sepeda motor dan perahu bermesin tempelnya ia jual. Kemudian ia membelikan sebuah kapal kecil dengan panjang 10 meter lebar 4 meter dan tinggi 1,5 meter dengan tenaga 22 PK, seharga 6,5 juta rupiah. Kapal itu langsung dinahkodai Sumarno dengan jarak tempuh lebih jauh dan hasil tangkapan lebih banyak. Pulang seminggu sekali, bersama beberapa orang anak buahnya, dengan penghasilan bersih sekitar 500 ribu rupiah per minggu. Sejak itu, tiap tahun ia berhasil membeli sebuah perahu bermesin tempel yang dijalankan orang lain dengan sistem bagi hasil.Tahun 1995, kapal dan lima perahunya ia jual, kemudian ia belikan sebuah kapal yang lebih besar, bermesin 6 silinder, seharga 47 juta rupiah. Kian tahun, jumlah kapal Sumarno kian banyak, hingga tahun 1998, setelah ia putuskan tidak melaut lagi, ia sudah memiliki 6 buah kapal besar dengan jumlah ABK (anak buah kapal) masing-masing sekitar 50 orang. Harga kapalnya pun tidak tanggung-tanggung, dari harga 350 juta rupiah, hingga 1 milyar rupiah. Berdasarkan pengalaman membeli kapal baru di sebuah galangan kapal di Rembang tahun 1998, dengan pinjaman kredit dari sebuah bank swasta di Pati, Sumarno terinspirasi untuk membuat sebuah galangan kapal di lahan milik orangtuanya yang menghadap langsung ke Pantai Juwana. “Saya rekrut beberapa ahli pembuat kapal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Diantaranya dari Rembang, Pati, Tegal dan Pekalongan. Mereka ini adalah para ahli kapal kayu tradisional dari daerahnya masing-masing,” kata Sumarno. Ilmu yang mereka miliki dipadukan di Galangan Kapal UD. Anton Jaya milik Sumarno, sehingga galangan tersebut dapat menghasilkan kapal kayu berkualitas. Hingga pertengahan 2001, menurut Sumarno, tidak kurang dari 45 kapal dari berbagai ukuran, mulai dari berkuran panjang 10 meter hingga 100 meter dengan muatan ratusan ton, telah dibuat di galangannya. Selain ada pesanan nelayan lokal, tidak sedikit pula yang dibawa ke Kalimantan dan Sumatera. Terakhir, yang sedang dikerjakan, adalah tiga buah kapal ukuran sedang pesanan Gubernur Jawa Tengah, Mardianto, yang dipersiapkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan di beberapa wilayah Jawa Tengah nantinya, dengan harga 1 milyar lebih. “Insya Allah, yang satunya akan selesai pertengahan Oktober ini. Sisanya menyusul bulan berikut,” kata Sumarno.
JADI MILYUNERHampir empat tahun Sumarno tidak terjun ke laut. Seluruh urusan kapal dan hasil tangkapannya ia jalankan dari darat dengan menaruh orang-orang kepercayaan di setiap kapalnya. Seluruh keluarga terdekatnya, ia percayakan di masing-masing kapal tersebut. Mulai dari kakak tertuanya, Rasiman, Haji Arif, Sutari dan adik bungsunya Sutopo, menjadi nahkoda di masing -masing kapal tersebut, dibantu beberapa keponakannya sebagai asisten nahkoda. “Sisanya, masyarakat sekitar sini bekerja di kapal saya.Alhamdulillah, saya bisa membantu kehidupan nelayan sekitar sini,” kata Sumarno. Sedang untuk pembukuan dan keuangan, Sumarno merekrut dua orang keponakannya, jebolan akademi keuangan Semarang, Yuni dan Prapti. “Seluruhnya saya percayakan kepada mereka-mereka itu. Bagi saya, kepercayaan adalah segala-galanya. Sekali mereka tidak jujur, bagi saya tidak ada kesempatan kedua untuk kembali memperoleh kepercayaan yang sama. Hingga saat ini, walau sebenarnya saya awam soal pembukuan secara modern, tapi, Alhamdulillah, saya bisa menghitung secara alamiah, sesuai nalar yang saya miliki,” kata Marno.Hasilnya, dari bulan ke bulan, jumlah uang Sumarno di bank kian meningkat. Menurut perkiraan seseorang yang dekat dengannya, penghasilan Sumarno per hari, tidak kurang dari seratus juta rupiah. “Kalau sebulan, anda bisa kalikan, sekitar tiga milyar,” kata orang tersebut.Perkiraan itu, agaknya masuk akal. Selain kini Sumarno telah duduk sebagai Direktu Utama PT. Tirta Mina Lestari, pabrik es terbesar di Kabupaten Pati, sebuah Bank Perkreditan Rakyat miliknya pun akan segera berdiri, di kota Juwana, bernama Mina Lana. “Alhamdulillah, tinggal menunggu saat yang tepat untuk peresmiannya,” kata lelaki berkulit hitam itu.Dengan sekian sektor usaha yang dimiliki, Sumarno kini mempekerjakan sekitar 400 karyawan dan 15 orang sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk memperlancar perputaran roda usaha yang dia miliki. Sedang Sumarno sendiri, karena seluruh mekanisme yang ada telah berjalan sesuai aturannya masing-masing, kini tinggal mengawasi seluruh sektor usahanya, secara umum, lewat kantor utama di samping rumahnya yang terbilang megah di tengah perkampungan nelayan desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati Jawa Tengah.Kini, untuk bepergian, Sumarno punya sebuah mobil Opel Blazer tahun terbaru. Untuk berkomunikasi, ia punya beberapa telepon genggam mutakhir sebagai alat komunikasi kaum eksekutif saat ini. Cuma, terus terang diakui, hingga saat ini ia tidak pandai memakai dasi. “Sungguh Mas, saya tidak bisa pasang dasi. Begitu juga istri saya. Kami ini orang kampung yang bodoh,” katanya merendah. Karena itu, bila menghadiri acara penting di Semarang atau kota lain bersama kaum eksekutif lainnya, Sumarno Cuma mengenakan kemeja batik atau jas tanpa dasi. Sedang dalam keseharian, Marno tampil sangat bersahaja, mengenakan sandal kulit dan sepeda motor untuk jarak dekat. Opel Blazer ia keluarkan bila akan bepergian agak jauh atau mengajak anak istrinya berkeliling kota Juwana, Pati atau ke Semarang dan sebagainya.
INGIN ANAK SEKOLAH KE LUAR NEGERI“Terus terang, saya ini orang bodoh, Mas. Hanya berkat tangan Tuhan-lah makanya saya sedikit berbeda dari orang lain. Kalau Tuhan tidak berkenan,mungkin hingga saat ini saya masih berhujan berpanas di tengah laut untuk enghidupi anak istri,” katanya. Untuk itu, diakui Marno, ia merasa ngeri dan berat bila memandang ke belakang tentang perjuangannya menggapai cita-cita. “Bayangkan, saya pernah nyaris dijemput maut ketika dapat musibah di laut. Saya terpelanting dari perahu tatkala perahu saya dihantam ombak.” Berjam-jam lamanya Sumarno terkatung-katung di air, hingga kemudian diselamatkan nelayan lain. Tidak hanya itu, ketika ia mencapai target hendak membeli sebuah perahu bermesin, ia harus turun ke laut selama 50 hari berturut-turut, tanpa henti. Satu hal yang disyukuri Sumarno atas “kebodohannya”, ia tidak kenal hingar bingar dunia hiburan, bioskop, diskotik, judi, wanita, minuman keras dan sebagainya. “Alhamdulillah, saya mensyukuri itu,” katanya berulang-ulang. Menyangkut pahitnya perjuangan hidup, Sumarno tidak ingin anaknya kelak harus berjuang keras melalui penderitaan pahit seperti dia.“Alhamdulillah, kini saya ada uang. Jika anak saya mau, lulus SMP nanti, saya ingin ia sekolah ke luar negeri sampai meraih gelar sarjana di sana. Terserah dia mau pilih sekolah apa dan di negara mana pun, akan saya dukung. Ini bukan sombong, tetapi memang keinginan saya yang luhur, ingin anak saya maju sebagai pelanjut usaha ini nantinya,” kata Marno.
Diposting oleh
cat fish
0 komentar:
Posting Komentar